Sabtu, 15 Juni 2013

Jurnal Artikel Kesehatan dalam HIV/ AIDS


KUALITAS HIDUP WANITA PENDERITA AIDS DAN WANITA PASANGAN PENDERITA AIDS DIKABUPATEN BANDUNG BARAT
Oleh Hartiah Haroen * Neti Juniarti* Citra Windani M.S.*
 
ABSTRAK        
Angka kejadian HIV/AIDS diindonesia dari tahun ke tahun terus meningkat. Menurut data yang ada di Departemen Kesehatan maupun Komisi Penanggulangan AIDS Indonesia (KPAI) Penderita HIV/AIDS sampai saat ini lebih banyak diderita oleh laki-laki dari pada perempuan dengan ratio 4,6 : 1 (KPAI 2007), meskipun demikian perempuan merupakan pihak yang paling rentan terhadap penularan HIV/AIDS dari pasangan atau suaminya. Kerentaan diakibatkan oleh adanya ketimpangan jender dan ekonomi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kualitas hidup wanita dengan HIV AIDS dan wanita pasangan penderita HIV AIDS dikabupaten Bandung Barat. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan cara indepth interview pada enam orang informan dimana dua orang informan adalah wanita yang hidup serumah dengan penderita HIV AIDS dan empat orang informan adalah wanita penderita HIV/AIDS. Analisa data dengan menggunakan “Content Analysis”. Hasil dari penelitian ini adalah secara umum tiga dari enam informan menyatakan kualitas hidup tidak ada perubahan, satu orang informan menyatakan kualitas hidupnya lebih baik, satu orang informan menyatakan kualitas hidupnya menurun sedangkan satu orang informan masih dalam fase bingung dan terlihat masih tertutup. Sedangkan hasil penelitian berdasarkan kualitas hidup dari segi fisik, psikologis, social, spiritual dan hubungan interpersonal masing-masing informan mempunyai hasil yang bervariasi. Saran dari penelitian perawat sebagai pemberi pelayanan pada penderita HIV/AIDS perlu untuk senantiasa meningkatkan kualitas hidup wanita penderita HIV/AIDS dan senantiasa memperhatikan wanita pasangan/keluarga penderita HIV/AIDS untuk meningkatkan kualitas hidupnya.
Kata Kunci : Kualitas Hidup, Wanita, HIV/AIDS

PENDAHULUAN
AIDS (Aquired Immunodeficiency Syndrome ) adalah suatu penyakit menular yang diakibatkan oleh virus HIV ( Human Immunodeficienci Virus ) ( WHO,2000). Virus HIV menyerang system imunitas tubuh secara keseluruhan, karena virus HIV menyerang CD4 [ada permukaan sel T-Helper yang berperan dalam pengaktifab imunitas seluler tubuh, sehingga orang yang terkena virus ini akan rentan terhadap setiap jenis penyakit infeksi. Angka kejadian HIV/AIDS di Indonesia dari tahun ke tahun terus meningkat. Menurut Komisi Penanggulangan AIDS (2007) sampai dengan bulan September 2007 penderita AIDS di Indonesia sekitar 1,3 juta dan diperkirakan pada tahun 2020 akan mencapai 2,3 juta orang. Angka ini memang masuk akal karena fenomena penyakit HIV/AIDS merupakan fenomena gunung es berkaitan dengan stigma yang berkembang dimasyarakat umum juga dikalangan masyarakat professional kesehatan.
Data WHO saat ini menyatakan bahwa sekitar 36.100.000 penduduk dunia terinfeksi HIV/AIDS dimana 6 juta kasus terdapat di Asia Tenggara (BKKBN Online, 2006). Ditjen PPM & PL Depkes RI menyatakan dari juli 1987 sampai dengan September 2007 pengidap HIV dan kasus AIDS sebanyak 16.288 orang dengan kematian 2.287. Dari data tersebut, provinsi Jawa Barat menempati rangking kedua di Indonesia dengan angka 1.445 kasus AIDS , 1.174 kasus AIDS dengan Drug User dan 288 orang telah meninggal dunia. Tingginya pertumbuhan HIV/AIDS di Jawa Barat sangat dipengaruhi oleh dua hal yaitu meningkatnya pengguna narkoba dengan jarum suntik serta maraknya seks bebas ( Adiningsih,2006 ). Dua pintu ini tidak lagi menjadi hal yang mengherankan tentang pertumbuhan kasus HIV/AIDS di Jawa barat. Kota Bandung sebagai ibu kota provinsi Jawa Barat memegang rekor tertinggi dalam kasus HIV/AIDS , Dimana tercatat sebanyak 291 kasus ( KPA JAWA BARAT 2007 ). Karena Jawa Barat menempati posisi kedua daro seluruh Indonesia maka hampir seluruh kota dan kabipaten di Jawa barat dijadikan kota dan kabupaten prioritas untuk penyelesaian masalah HIV/AIDS. Salah satunya adalah termasuk kabupaten baru diwilayah Jawa Barat yaitu Kabupaten Bandung Barat yang berbatasan dengan kota Bandung, transfer gaya hidup sangat memungkinkan terjadi.
Penyakit HIV/AIDS merupakan penyakit dengan berbagai gejala yang diakibatkan oleh infeksi oportunistik seperti TBC, Diare Krinis dan Infeksi pada selapit otak dan jaringan otak                   ( Alisjahbana,2006) yang berdampak pada semua aspek kehidupan penderita dan keluarganya. Mengingat sigat penyakit HIV/AIDS yang kronis dengan masa inkubasi dan perjalanan penyakit yang lama, maka penderita HIV/AIDS kebanyakan adalah usia 45 Tahun. Menurut data yang ada di Departemen Kesehatan maupun KPAI penderita HIV/AIDS sampai saat ini lebih banyak diderita oleh laki-laki daripada perempuan dengan ratio 4,6 : 1 ( KPAI,2007 ), meskipun demikian perempuan merupakan pihak yang paling rentan terhadap penularan HIV/AIDS dari pasangan atau suaminya. Contohnya penggunan kondom pada perempuan yang masih menjadi kontroversi dibudaya kita membuat perempuan kurang mampu untuk melindungi dirinya dari tertular virus HIV dari suami atau pasangannya. Hal ini diperberat secara cultural lemahnya kekuatan dan kemampuan perempuan untuk menolak hubungan seks tanpa kondom terutama perempuan yang beresiko untuk tertular HIV/AIDS.
Rentan tertular penyakit pada kelompok perempuan diperberat dengan kondisi social ekonomi yang rendah. Menurut data sampai saat ini lebih dari 50% penderita HIV/AIDS adalah dari kalangan ekonomi lemah, padahal biaya yang diperlukan untuk pengobatan dan perawatan AIDS sangat mahal, sehingga tidak jarang perempuan yang tertular HIV/AIDS dari suaminya tidak mendapat pengobatan dan perawatan yang optimal. Selain itu penyakit HIV/AIDS merupakan penyakit Kronis dengan berbagaigejala yang diakibatkan oleh infeksi oprtunistik seperti TBC, Diare Kronis dan Infeksi selaput dan Jaringan Otak (Alisjahbana,2006) yang berdampak pada semua aspek kehidupan penderita dan keluarganya. Melihat fenomena diatas HIV/AIDS menimbulkan banyak perubahan bagi klien yang mengalaminya dan juga orang dekat yang mendampingi klien HIV/AIDS. Tidak hanya menimbulkan perubahan fisik saja tetapi dapat menimbulkan perubahan-perubahan dari segi lainnya seperti psikologinya, social, ekonomi dan spiritual. Dampak yang ditimbulkan dapat menurunkan kualitas hidup penderitanya dan wanita yang mempunyai pasangan penderita HIV/AIDS. Hal tersebut memperlihatkan bahwa betapa pentingnya memahami kondisi klien dengan HIV AIDS dalam upaya memberikan perawatan yang holistik.Selain itu,memurut Towsend (2002), lebih baik mendengarkan keresahan pasien HIV AIDS dan wanita pendamping pendamping penderita HIV AIDS dari pada memberikan nasihat.Saling berbagi diantara sesama wanita HIV AIDS dan yang wanita mempunyai pasangan menderita HIV AIDS serta kelompok pendukung juga dapat mengurangi beban sakit dan beban perasaan yang ada didalam hati mereka.
Berdasarkan uraian diatas maka peniliti merumuskan masalah sebagai berikut : “Bagaimana kualitas hidup wanita dengan HIV AIDS dan wanita dengan pasangan penderita HIV AIDS dikabupaten Bandung Barat?” Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kualitas hidup seorang wanita dengan HIV AIDS dan wanita pasangan penderita HIV AIDS dikabupaten Bandung Barat.Kualitas hidup yang akan diteliti adalah dari segi fisik,segi psikologis,segi social,segi spiritual dan dari segi hubungan interpersonal.
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan deskriptif kualitatif.Penelitian kualitatif adalah suatu pendekatan untuk menyusun pengetahuan yang menggunakan metode riset dengan menekankan subjektifitas dan arti pengalaman bagi individu (Brockopp,2000).Tujuan dari penelitian kualitatif adalahuntuk menggali atau mengeksplorasi,menggambarkan pengetahuan bagaimana kenyataan yang dialami. Kualitas hidup wanita dengan HIV/AIDS dan wanita pasangan HIV/AIDS yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pengalaman batin yang dirasakan bermakna oleh wanita dengan HIV/AIDS dan wanita pasangan HIV/AIDS dilihat dari perubahan-perubahan biologis,psikologis,social dan spiritual yang diungkapkan saat Indepth imterview.Indepth interview adalah tentik pengumpulan data dalam penilitian yang mengungkapkan pendekatan kualitatif.
Kualitas hidup yang ingin peniliti dapatkan dari peneliti ini adalah pengalaman batin yang bermakna dan mendalam tentang HIV/AIDS.Untuk itu,subjek penelitian harus memenuhi kriteria subjek penelitia yaitu klien didiagnosa menderita HIV/AIDS oleh dokter,klien merupakan pasangan yang didiagnosa menderita HIV/AIDS oleh dokter,klien termasuk usia dewasa,keadaan umum klien baik dan kesadaran komposmetis,klien dspst berkomunikasi dengan baik dan bersedia menjadi informan.Teknik pengumpulan data yang digunakan untuk memperoleh dsts mengenai kualitas hidup wanita HIV/AIDS dan wanita pasangan HIV/AIDS,dilakukan dengan menggunakan teknik wawancara mendalam (in depth interview) kepada responden.Lofland dan Lofland (1984) dalam meleong (2000) menyatakan bahwa sumber data utama dalam penelitian kualitatif adalah kata-kata dan tindakan,selebihnya adalah data tambahan seperti dokumentasi. Sumber data utama diperoleh melalui rekaman voice recorder dan catatan tertulis.wawancara yang dilakukan dalam penelitian ini sebanyak dua sampai tiga kali pertemuan.Wawancara dilakukan dalam keadaan santai dan bersifat informal.
Proses INDEPTH INTERVIEW
Proses wawancara yang dilakukan adalah percakapan informal yang mengandung unsur spontanitas dan santai.Pelaksanaan wawancara dilaksanakan menggunakan pertanyaan terbuka dan tidak terstruktur.Peserta wawancara ini adalah informan yang sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan diatas.Pertanyaan terbuka diajukan supaya sedikit mungkin peniliti dapat mempengaruhi jawaban informan dan juga memungkinkan informal dapat menjawab dari berbagai dimensi.Instrumen utama yang digunakan selama wawancara adalah penelitian sendiri dan secara operasional menggunakan instrumen pendukung yaitu voice recorder dan pedoman wawancara.
Waktu yang ditetapkan untuk pelaksanaan kurang lebih selama enam puluh menit,dengan perincian lima menit pertama tahap awal untuk pembukaan.Tahap kedua,selama enam puluh menit,merupakan tahap kerja untuk wawancara sesuai topik yang telah disepakati dan mengarah kepada wawancara dalam mengenai pengalaman hidup informan tentang HIV/AIDS dilihat dari segi bio,psiko,social,dan spiritual klien.Tahap terakhir selama puluhan menit untuk melakukan klarifikasi pernyataan klien yang dianggap penting dan member kesempatan kepada informan untuk mengungkapkan hal-hal yang ingin diungkapkan informan.Namun waktu yang digunakan selama wawancara disesuaikan dengan kondisi informan.Setelah wawancara,peneliti menyimpulkan beberapa jawaban kunci yang muncul ketika wawancara,dan menanyakan kepada informan apakah kesimpulam yang dibuat peneliti benar.
Pada tahap kerja,dalam hal ini peneliti,mengajukan pertanyaan awal dengan topik umum yang dapat dimengerti dan dipahami oleh informan,sehingga denga demikian dapat membuka pandangan peneliti terhadap kualitas hidup informan dilihat dari segi bio,psiko,social dan spiritual klien.Peneliti dibantu pengamat yang bertugas mencatat dan mengatur alat perekam serta membantu moderator dalam melaksanakan jalannya wawancara.Selain itu,pengamat bertugas mengamati peserta wawancara terutama bahasa tubuhnya seperti gelisah,tidak senang,terganggu oleh keadaan,pendiam atau terlalu mendominasi yang akan mempengaruhi jawaban-jawaban yang diungkapkan.Peneliti mendengarkan secara aktif dan memberikan perhatian secara penuh terhadap pernyataan yang telah diberiksn oleh informan serta tidak memberikan komentar terhadap ungkapan informan. Analisa data yang digunakan untuk mendeskripsikan pengalaman hidup wanita dengan HIV/AIDS dan wanita pasangan HIV/AIDS dengan menggunakan content analysis.
HASIL PEMBAHASAN
 Penelitian dilakukan pada enam orang wanita,diaman empat orang hidup dengan HIV/AIDS dan dua orang wanita yang tinggal serumah dengan HIV/AIDS.
1.   Kualitas hidup wanita yang menderita HIV/AIDS dan wanita pasanga HIV/AIDS dari segi fisik
Keluhan:
Dua dari enam informan tidak merasakan gejala fisik,hanya merasa cepat lelah.Hal ini dinyatakan empat orang informan keluhan akibat jamur/diare.Satu orang responden menyatakan menderita sakit sariawan yang sering kambuh.
Upaya menjaga kesehatan:
Dalam menjaga kesehatan.semua informan menyatakan pentingnya pola hidup sehat,makan teratur,menjaga kebersihan dan istirahat cukup.Dua orang informan melakukan olah raga secara teratur.Agar dapat melakukna pola hidup sehat,minum air putih sebanyak 7-8 gelas dan olah raga diakui oleh informan 6 dapat membantudirinya tetap sehat dan bugar.
Upaya mencari pengobatan:
Lima dari enam informasi mencari bantuan pengobatan ke tenaga medis baik ke rumah sakit,klinik,dan puskesmas.Hanya satu orang informan yang tidak menggunakan pelayanan kesehatan dengan menggunakan biaya,akan tetapi bila sudah parah baru ia pergi ke dokter. informan merasa puas dengan pengobatan yang mereka terima,terutama penggunaan ARV.Hal ini sejalan denga hasil penelitian di Afrika yang menunjukkan bahwa pelayanan perawatan dan pengobatan yang baik dapat meningkatkan kualitas kehidupan orang yang hidup dengan HIV/AIDS (orner et al.2008)
Upaya untuk mengurangi stigma dari tenaga kesehatan juaga ditekankan karena ada beberapa pusat pelayanan kesehatan masyarakat yang masih menunjukkan stigma pada orang dengan HIV/AIDS (orner et al.2008).Hal ini juga diungkapkan oleh satu orang informan dalam penelitian dikabupaten Bandung Barat ini yang menyatakan bahwa selama dirumah sakit ia merasa dibeda-bedakan dari pasien yang lain,contohnya dalam hal pemberian makanan,ia menggunakan Styrofoam yang langsung dibuamg setelah dipakai.
2.     Kualitas hidup wanita yang menderita HIV AIDS  dan wanita pasangan HIV AIDS dari segi psikologis
Ke enam informan   menyatakan kualitas hidupnya baik dari segi psikologis karena ada dukungan dari suami dan keluarga.Walaupun semua informan menyatakan kualitas hidupnya baik,akan tetapi ada satu orang responden yang menyatakan masih ada penyangkalan terhadap penyakit yang dideritanya.Dua dari enam responden merasa terbebani karena memikirkan karena memikirkan anaknya. Adapula informan yang merasa takut menularkan.Hal ini terjadi karena kurangnya informasi tentang HIV,dan mereka takut menularkan penyakitnya pada orang lain.
 
 
Masalah Sebagai Wanita:
Sebagai wanita yang mengidap HIV maupun keluarga penderita HIV, banyak hal yang dirasakan. Dua dari enam informan menyatakan bahwa ingin punya anak akan tetapi takut anaknya mengidap HIV juga. Sebagai wanita naluri untuk ingin punya anak dan menjadi ibu tidak dapat dihilangkan walaupun mengidfap HIV/AIDS. Yang perlu diingatkan pada wanita dengan HIV/AIDS bahwa ada berbagai resiko dan kosekuensi yang harus dipertimbangkan yang mungkin terjadi pada anak-anak yang dilahirkan. Kesiapan fisik dan mental harus menjadi pertimbangan bagi wanita yang hidup dengan HIV/AIDS ketika memutuskan untuk memiliki anak.
3. Kualitas hidup wanita yang menderita HIV/AIDS dan Wanita Pasangan HIV/AIDS dari segi Sosial
Empat dari enam responden menyatakan mendapat stigma dari lingkungannya sehingga merahasiakan status dari keluarga dan lingkungannya, seperti yang diungkapkan responden kedua. Sebagian informan dalam penelitian ini menyatakan bahwa tidak mengalami perubahan dalam aktifitas social mereka. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian di Thailand yang menunjukan bahwa ODHA yang merasa bahwa mereka diterima oleh masyarakat, memiliki akses terhadap fasilitas kesehatan atau memiliki orang lain yang mendukung cenderung untuk memiliki kualitas kehidupan yang lebih baik dalam aspek mental (Ichicawa dan Natpratan,2006). Dukungan social yang baik terutama penerimaan oleh masyarakat merupakan sumber dukungan mental yang paling penting bagi orang yang hidup dengan HIV/AIDS. Wanita yang mengalami diskriminasi memiliki kecenderungan mengalami stress, ide bunuh diri, dan kualitas hidup yang rendah serta cenderung tidak mencari pelayanan kesehatan (Wingood,et al.2007).
4.Kualitas hidup wanita yang menderita HIV/AIDS Dan wanita pasangan HIV/AIDS dari Segi Spiritual
Hanya satu dari enam orang informan yang masih melaksanakan kegiatan spiritual tanpa hambatan terutama dalam melaksankan ibadah puasa karena hambatan dalam minum obat yang sesuai waktu. Dalam penelitian ini informan yang memiliki kualitas hidup yang lebih baik. Aspek spiritual memiliki peran penting dalam mempertahankan kualitas hidup wanita yang menderita HIV/AIDS dan wanita pasangan ODHA (Braxton,et.al 2007).
5.Kualitas Hidup Wanita yang menderita HIV/AIDS dan Wanita pasangan HIV/AIDS  dari Segi Hubungan Interpersonal
Dari segi hubungan interpersonal baik hubungan suami istri maupun hubungan dengan anak dan keluarga, semua informan menyatakan tidak mengalami perubahan, walaupun pada awalnya ada ketakutan.  Hasil ini berlawanan dengan hasil penelitian Rusch et al.(2004) yang menunjukan bahwa terdapat keterbatasan aktivitas pada wanita lebih besar daripada pria diKanada. Hal ini dimungkinkan karena di Indonesia sebagian besar orang yang hidup dengan HIV/AIDS (ODHA) tidak membuka status HIVnya pada orang lain sehingga tidak ada tetangga maupun kerabat yang mengetahuinya.  Anggota keluarga orang lain tetap memberikan perhatian,terutama mengingatkan waktu minum obat , mengingatkan untuk menjaga kesehatan dan memberika perhatian. Ada pula informan yang merasa stress dan ingin bercerai pada saat mengetahui diagnose. akan tetapi setelah mendapatkan informasi yang jelas maka tindakan informan kembali seperti semula.Ada pula yang sikapnya berubah terhadap pasangan yang mengidap HIV. Pada saat keluarga tidak mendukung,informan mendapatkan dukungan dari temen-temen di LSM.Selain temen ibu juga merupakan orang yang selalu menberikan dukungan.
 
Kualitas hidup secara umum
Tiga dari orang informan menyatakan kualitas hidup secara umum tidak ada perubahan,satu orang informan menyatakan kualitas hidup setelah mengidap HIV lebih baik dari sebelumnya. Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian di India yang menunjukkan bahwa secara umum wanita yang mengidap HIV/AIDS memiliki kualitas hidup yang lebih rendah,memiliki keluhan fisik yang mengganggu aktifitas,nyeri,gangguan fungsi peran,social dan kesehatan mental.Gangguan yang dilaporkan lebih dari 4 gejala (Mast et al.2004).perbedaan ini kemungkinan disebabkan oleh masih sedikitnya keluhan fisik yang diderita sebagian besar informan adalah penyakit jamur dan diare.Bahkan ada satu orang informan yang menyatakan kualitas hidupnya lebih baik. Hanya satu orang informan yang menunjukkan kualitas hidup secara umum yang kurang baik.Informan 3 merupakan ibu dari salah seorang ODHA yang diwawancara dalam penelitian ini.Ketika diwawancara informan 3 seringkali dilihat bingung.Jawaban yang ia berikan pun tergolong singkat dan tanpa penjelas.Tak jarang,ketika ditanya dia hanya diam dan interviewer harus mengulang pertanyaan.Ia juga tampak kurang memahami maksud dari pertanyaan.Ketika dia tidak dapat menjawab pertanyaan,ia langsung terlihat tegang,gelisah dan bingung.Kondisi ini menyebabkan proses wawancara tidak dapat berjalan dengan baik.Informan 3 ini banyak menutupi informasi dan oada saat jawabannya dicocokkan dengan anaknya yang mengidap HIV banyak jawaban yang berbeda.Hal ini dimungkinkan karena hidup dengan HIV dan keluarga yang bertangguang jawab.Merawatnya merupakan stressor yang sangat berat dalam kehidupan suatu keluarga,yang dapat berdampak pada depresi (Dalmida,2006).Sebagai ibu yang merawat anak,maka stressor HIV menjadi beban berat karena ia tidak hanya harus merawat anaknya yang menderita HIV tetapi juga harus menghadapi stigma dari masyarakat sekitar.Inilah yang menjadi tampak tegang,gelisah,dan bingung.
SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian pada enam orang informan dapat disimpulkan bahwa Kualitas hidup wanita dengan HIV AIDS Dan Wanita pasangan penderita HIV AIDS di kabupaten Bandung Barat secara umum tiga dari enam informan menyatakan kualitas hidupnya tidak ada perubahan.
SARAN
Berdasarkan kesimpulan yang diambil dari hasil penelitian tentang kualitas hidup wanita dengan HIV AIDS dan pasangan penderita HIV AIDS Di Kabupaten Bandung Barat peneliti mengajukan saran sabagai berikut:
      1.  Bagi Perawat
Asuhan yang diberikan pada penderita HIV AIDS khususnya klien wanita tidak hanya berfokus pada aspek biologis saja tetapi juga harus memperhatikan aspek psokologis, soaial dan spiritual serta hubungan Interpersonal. Ini dalam rangka untuk meningkatkan perawatan secara holistic pada penderita HIV AIDS Wanita.
      2.  Bagi Keluarga dan Orang Terdekat
Agar senantiasa mengikuti pelatihan dalam merawat penderita HIV AIDS sehingga kualitas hidup baik penderita HIV AIDS maupun keluarga yang hidup dengan penderita HIV AIDS khususnya wanita semakin baik.
 
Daftar Pustaka
Alisjahbana,Bacthi komisi penanggulangan AIDS diambil dari pikiran rakyat.com diakses pada tanggal 16 januari 2006
Hurlock, Elizabeth.1997. psikologi perkembangan.edisi kelima.Jakarta: PT.Erlangga
Iriany,Sartika.Dampak dan Penaggulangan penyimpangan perilaku seksual remaja. Diakses tanggal 16 januari 2008
Gorrie,T.M et al.1998. Fundation pf maternal-newborn NS.philadelphia:W.B Saunders Company

PERAN PERAWAT DALAM MENERAPAN TELE-ICU DALAM PELAYANAN KEPERAWATAN INTENSIF

Oleh

MISFATRIA NOOR


Abstrak

Tele-ICU bertujuan untuk meningkatkan standar perawatan di ICU yang tujuan akhirnya meningkatkan kesehjateraan pasien. Peningkatan standar dilakukan dengan obsevasi keadaan pasien dan monitoring kinerja perawat ICU yang merupakan bagian dari supervisi. Tele-ICU berperan meningkatkan peran perawat untuk profesi perawat sendiri dan profesi lain dalam bentuk kolaborasi Tele-ICU merupakan tehnologi baru sehingga perlu dikaji, termasuk pengembangannya model staffing, issu yang terintegrasi, kemampua terhadap integrasi keperawatan, dan minat dari area lain. Peran perawat tidak bisa diabaikan karena berperan dari sebagai pengguna sampai pengembangan tele-ICU. Meningkatnya intensitas pekerjaan bagi staff di ruang pelayan ICU menuntut adanya suatu pengembangan teknologi kesehataan yang membantu dan memudahkan pekerjaan . Harapan terhadap hasil pelayanan yang terbaik untuk dapat menurunkan angka kematian dan kesakitan dalam pelayanan perawatan merupakan tujuan yang akan dicapai. Banyak lembaga pelayanan di ICU mengalami kekurangan tenaga, sumber daya keuangan serta semakin kompleksnya masalah yang dihadapi petugas dan pasien dikembangkanlah suatu metode pelayanan yang efektif dengan pemanfaatan kemajuan teknolgi. Salah satu pemanfaatan kemajuan tersebut adalah Tele-ICU. Dimana Tele-ICU adalah menggunakan teknologi informasi (TI) dan pendekatan baru untuk komunikasi dan alur kerja berbasis populasi ditatanan pelayanan ICU. Perkembangan teknologi informasi telah mempengaruhi cara manusia dalam melakukan kegiatan dunia kesehatan. Tulisan ini memaparkan bagaimana kemajuan IT bisa digunakan untuk konsep teleICU. Namun keterbatasan teknologi hardware, software maupun bandwidth mempengaruhi perkembangan teleICU di Indonesia.

Kata Kunci : tele-ICU, keperawatan intensif

Latar Belakang

Perawatan intensif merupakan pelayanan keperawatan yang saat ini sangat perlu untuk di kembangkan yang bertujuan memberikan asuhan bagi pasien dengan penyakit berat yang potensial reversibel, memberikan asuhan pada pasien yang memerlukan observasi ketat dengan atau tanpa pengobatan yang tidak dapat diberikan diruang perawatan umum memberikan pelayanan kesehatan bagi pasien dengan potensial atau adanya kerusakan organ umumnya paru mengurangi kesakitan dan kematian yang dapat dihindari pada pasien-pasien dengan penyakit kritis  Intensive Care Unit (ICU) adalah suatu bagian dari rumah sakit yang terpisah, dengan staf khusus dan perlengkapan yang khusus, yang ditujukan untuk observasi, perawatan dan terapi pasien-pasien yang menderita penyakit, cedera atau penyulit-penyulit yang mengancam jiwa ataupun yang potensial. ICU menyediakan kemampuan dan sarana, prasarana serta peralatan khusus untuk menunjang fungsi-fungsi vital dengan menggunakan keterampilan staf medik, perawat dan staf lain yang berpengalaman dalam pengelolaan keadaan-keadaan tersebut. Dalam 3 dekade terakhir, permintaan untuk layanan ICU di Amerika Serikat telah meningkat. Harapan hidup rata-rata meningkat, dengan perkiraan bahwa penduduk AS di atas usia 65 tahun akan meningkat sebesar 50% pada tahun 2020, dan 100% di 2030. Sebagai usia rata-rata peningkatan populasi dan kompleksitas kemajuan penyakit kronis, permintaan untuk jasa perawatan kritis diperkirakan akan terus tumbuh secara proporsional

Tele-ICU merupakan salah suatu metode pelayanan yang menerapkan kemajuan berbasis teknologi informasi dibidang pelayanan kesehatan. Dimana penerapan dari Tele – ICU bertujuan untuk meningkatkan standar perawatan yang akhirnya akan meningkatkan kesehjateraan klien yang mendapat pelayanan di ruang ICU . Penerapan Tele – ICU dalam pelayanan kesehatan diharapkan akan meningkatkan peran perawat dan profesi lain dalam melakukan observasi serta peningkatan standar pelayan keperawatan yang dilakukan.. Inovasi tehnologi sangat dibutuhkan dalam pelayanan kesehatan di ruang ICU yang bertujuan meningkatkan mutu pelayanan keperawatan. Seiring dengan bertambahnya kompleksitas masalah di ICU. Salah satu inovasi tekhnologi tersebut adalah penerapan Tele-ICU diruang perawatan intensif. Tele-ICU merupakan salah satu inovasi kemajuan dunia teknologi yang akan meningkatkan mutu pelayanan keperawatan di ICU seiring dengan bertambahnya tuntutan kemajuan ilmu dunia kedokteran dan keperawatan.

Penerapan Tele –ICU dalam bidang keperawatan bukan berarti akan mengabaikan peran perawat yang sesungguhnya, karena penerapan Tele-ICU yang baik dan benar akan meningkatkan kepuasan dan efektifitas terhadap pelayanan yang diberikan sehingga dituntut peran perawat yang handal sebagai pengguna Tele ICU serta pengembangan lebih lanjut. Tele-ICU awalnya dikenalkan pada tahun 1982 oleh Grundy dan rekan, 10 dengan telemedicine diperkenalkan sebagai on-demand sarana konsultan jaringan perawatan kritis dengan kurangnya intensivists. Tele-ICU telah berkembang menjadi penggunaan pemantauan terus menerus dan berbagi informasi antara samping tempat tidur dan pusat pemantauan, dengan dua arah interaktif audio-video teknologi untuk menghubungkan praktisi perawatan kritis dan pasien. Ada beberapa penyedia tele-ICU, termasuk Philips-VISICU (Andover, MA). Philips-VISICU saat ini memasok tele-ICU infrastruktur teknologi untuk 42 sistem kesehatan, yang meliputi 5.900 tempat tidur (kisaran 28-406 tempat tidur).

Tehnologi sistem informasi terbaru yang digunakan di ICU adalah Tele-ICU. secara definisi tele mengandung makna seperti tele-health, tele-nursing, atau tele-medicine, tetapi secara konsep sama. Tele-medicine didefinisikan sebagai seperangkat peralatan yang digunakan untuk informasi medis via komunikasi elektronik untuk meningkatkan status kesehatan dan bukan merupakan suatu pendekatan perawatan pasien. Tele-health merupakan tehnologi yang menggunakan peralatan komunikasi yang dikembangkan secara ahli di bidang medis, kualitas tinggi, komunikasi audiovisual dua arah yang memungkinkan antara provider dan pasien. Tele-nursing digambarkan sebagai penggunaan tehnologi komnikasi oleh perawat dalam memberikan pelayanan keperawatan untuk meningkatkan status kesehatan pasien. Sebelum pengembangan teleICU, selama ini perawat telah menggunakan teknologi tele-komunikasi dalam perawatan kesehatan seperti menggunakan telepon dalam pelaporan kondisi dan status pasien. Dalam proses keperawatan perawat menggunakan peralatan untuk manajemen kasus, pendidikan pasien,dan intervensi krisis. Informasi dalam keadaan darurat membutuhkan proses seperti kreasi, retrieval, filter, dan organisasi yang secara otomatis ditampilkan dalam kondisi klinis yang tepat, dan waktu yang tepat. Untuk aktifitas kegiatan pelayanan tersebut maka dikembangkanlah suatu system yang efektif dan efisien dalam memberikan pelayanan pada pasien di ICU. Salah satunya adalah teleICU yang merupakan salah satu penerapan tekhnolgi yang berbasis IT. Terpapar lingkungan ICU yang terus menerus bagi perawat akan menyebabkan kelelahan, dan kehilangan konsentrasi sehingga dapat menimbulkan kesalahan yang membahayakan keselamatan pasien. Kadangkala perawat di ICU tidak hanya mengelola satu pasien, tetapi pasien lain juga membutuhkan perhatian yang tinggi dan segera. Perawatan intensif membutuhkan perpindahan yang cepat dimana membutuhkan peralatan yang memberikan informasi untuk merencanakan perkembangan pasien, desain proses keperawatan, dan lingkungan fisik dimana membutuhkan cara yang berbeda dibandingkan metode tradisional.

Pengembangan tele-ICU membutuhkan peran perawat profesional yang memiliki kemampuan yang baik dalam menerima perkembangang kemajuan teknologi dibidang kesehatan, Sehingga perawat diharapkan mampu beradaptasi dengan kemajuan tersebut dan mampu meningkatkan ilmu dan ketrampilannya. Dengan pemanfaatan kemajuan tekhnologi tersebut akan meningkatkan jumlah pengelolaan pasien secara efisien. Tele-ICU merupakan bagian tele-nursing yang mempunyai peluang dalam meningkatkan perkembangan ketrampilan dimana perawat dapat memainkan perannya dengan tenaga medis lain. Penerapan tele ICU merupakan implikasi dari teknologi telemedicine dalam perawatan pasien ICU. Sistem tehnologi ini terdiri dari berbagai vendor, komponen hardware yang spesifik dan sofware serta gabungan antara tele-ICU dan tim perawatan. Tim Tele-ICU membutuhkan akses yang sama dengan tim perawatan untuk berbagai elemen data yang berhubungan dengan pasien (seperti : tanda vital, hasil laboratorium, radiologi, terapi, dan advise) untuk mendapatkan status pasien yang akurat dan identifikasi yang aktual maupun potensial berkaitan dengan issu-issu perawatan pasien

Tehnologi tele-ICU bersifat relatif dari satu sistem terhadap sistem lain, program staffing diperlukan untuk kebutuhan rumah sakit menjalankan sistem yang membutuhkan sumber daya. Tele-ICU beroperasi selama 24 jam setiap hari, 7 hari dalam seminggu dan saat staff intensive care bisa melakukan kontak dengan intensitivist selama 15 – 20 jam setiap hari. Tele-ICU merupakan suatu mata kedua yang mendukung kelangsungan klinis. Tele-ICU dengan kolaborasi tim perawatan ICU (baik perawat maupun dokter) akan mendukung perawatan tanpa adanya distraksi dan tenaga pelayanan akan mampu melakukan tindakan dalam hitungan menit yang akan membawa perubahan. Tele-ICU bukan bermaksud untuk menggantikan perawat klinis yang selalu bertugas disamping pasien, tapi lebih mengarah terhadap peningkatkan standarisasi asuhan keperawatan yang diberikan khususnya pelayanan di ICU.

Penerapan peralatan audio/video berperan sebagai mata dan telinga tim tele-ICU. Kamera dengan resolusi tinggi didukung speaker memungkinkan tim tele-ICU dapat berkomunikasi dengan petugas kesehatan memberikan saran setelah melakukan tindakan, kondisi pasien, dan diskusi dengan pasien maupun tim tele ICU. Informasi klinis merupakan status pasien hasil dari pengkajian yang sesuai standar yang telah ditetapkan. Tele ICU merupakan salah satu sarana transmisi dari semua informasi yang ada di ICU. Meskipun dalam struktur organisasi bervariasi diantara staf ICU, struktur dasar terdiri dari pusat komunikasi utama, atau “pusat komando,” dengan kecepatan tinggi, koneksi stabil ke beberapa remote ICU. Pusat komando dikelola oleh dokter perawatan kritis, Extenders dokter, perawat perawatan kritis, dan / atau dukungan personel administrasi. Pada beberapa tele-ICU pusat, seorang apoteker perawatan kritis menyediakan farmasi ICU. Setiap workstation tele-ICU terdiri dari layar monitor ganda, memungkinkan dokter akses ke data yang tepat , termasuk memantau data disamping tempat tidur, hasil laboratorium, radiografi, keperawatan dan lembaran terapi, pernafasan aliran, parameter ventilator, dokumentasi medis, dan vital signs. Tele-ICU pembulatan diprioritaskan berdasarkan tingkat ketajaman, dengan pasien ketajaman tertinggi dinilai setidaknya per jam, dan pasien ketajaman rendah terakhir kurang frequently.6 alat Audiovisual digabung dengan sumber daya pendukung keputusan, termasuk real-time sistem peringatan otomatis yang menyoroti kelainan dan tren dalam penelitian laboratorium dan fisiologis parameter (misalnya, tanda-tanda vital, produksi urine, fungsi ginjal). Peringatan ditinjau oleh tele-ICU klinis Tele-ICU dapat digunakan sebagai ronde dengan tim kesehatan yang lain sebagai upaya diskusi, kolaborasi, dan konsultasi. Peran dapat berupa diskusi dan konsultasi untuk pengambilan keputusan, walaupun berpeluang menimbulkan stress. Ronde yang dimaksud bersifat virtual ronde yang dilakukan secara rutin dengan melibatkan dokter dan perawat dengan frekuensi tergantung kebutuhan pasien. Kamera digunakan selama 30 menit untuk pengkajian tele-ICU yang dimulai diawal shift atas permintaan tim ICU untuk mengidentifikasi perubahan kondisi pasien. Status pasien meliputi : tanda vital 1 – 4 jam terakhir, konfigurasi waveform pasien berkaitan dengan alarm, hasil laboratorium terbaru, dokumentasi keperawatan, advise medis, rencana perawatan terbaru, serta pemeriksaan penunjang lain seperti radiologi dan diagnostic

Salah satu penerapan telemedicine dari tele ICU adalah Sophisticated Alert System. Dimana system ini akan memberitahukan perubahan kondisi pasien sehingga petugas kesehatan di ruang ICU dapat memberikan intervensi dan tindakan preventif sesegera mungkin dalam menghadapi periode kritis pasien. Peralatan dari system ini terdiri dari kamera resolusi tinggi, mikropon, dan speaker yang dipasang pada setiap ruang pasien ICU. Sistem ini memiliki monitor 1 arah atau 2 arah, memiliki kemampuan mengkaji secara video/audio dan komunikasi secara bedside dengan tim perawatan. Tehnologi Tele-ICU bersifat komplek dengan desain yang bertujuan meningkatkan efektifitas dan efisiensi. Pengembangan tele-ICU membutuhkan peran tenaga profesional yang memiliki pandangan kedepan dalam perkembangan tehnologi. Diharapkan petugas kesehtan mampu beradaptasi dan berperan, serta adanya rasa membutuhkan tehnologi baru untuk pengelolaan pasien secara efisien. Tele-ICU merupakan bagian tele-nursing yang mempunyai peluang untuk meningkatkan perkembangan ketrampilan perawat sehingga dapat bekerjasama dengan profesi kesehatan lainnya dalam pengembangan kegitan pelayanan kesehatan yang inovatif.

Kesimpulan

Penerapan tele ICU dalam proses pelayanan kesehatan di Rumah sakit membutuhkan dukungan baik biaya, waktu serta ketrampilan khusus personil. Karena itu perlu kajian dan pertimbangan yang matang dalam mengaplikasikan kemajuan tekhnologi ini sehingga penerapan system ini dapat lebih optimal dalam mencapai tujuan pelayanan intensif yaitu menurunkan angka kematian dan kesakitan. Penerapan dan aplikasi dari tele-ICU bukan untuk menggantikan peran perawat atau petugas kesehatan ruangan ICU, tetapi lebih pada peningkatan patient safety yang merupakan pencapaian standar pelayanan di rumah sakit. Tele-ICU berperan sebagai pemberi informasi terhadap kondisi pasien yang dipantau serta dimonitor oleh system, sehingga petugas ruang ICU lebih cepat tanggap dalam memberikan tindakan serta asuhan terbaik di ICU serta sarana kolaborasi petugas dengan tim kesehatan lainnya.

Rekomendasi

Sebagai salah satu pemanfaatan kemajuan tekhnologi informatika dibidang kesehatan, penerapan TeleICU perlu dipahami oleh semua petugas yang terlibat dalam penggunaan teknologi ini sehingga efektifitas dan manfaat teknologi ini dapat didiaplikasikan dalam tatanan pelayan kesehatan khusunsya ruang Intensif. Penerapan TeleICU yang berbasis teknologi membutuhkan ketrampilan khusus dalam penggunaanya, sehingga diperlukan sumber daya manusia yang memiliki ketrampilan yang baik dalam menggunakan teknologi ini. Serta sumber daya manusia yang masih minim dalam pelayanan ICU merupakan tantangan terbesar dalam penerapan aplikasi tele ICU. Sehingga perlu analisa yang tepat terhadap penerapan teleICU di pelayanan intensif.

Referensi

Brian. A Rosenfeld. Et all (2000). Intensive Care Unit telemedicine : Alternate paradigm for providing continous intensivist care. Crit Care Med. Vol 20 No 12.

Ernesater, A. et all (2009). Telenurses’ Experience of Working with Computerized Decision Support : Supporting, Inhibiting, and Quality Improving. Journal of Advance Nursing, 65, 1074-1083.

Goran, S.F. (2010). A Second Set Of Eyes : An Introduction to Tele-ICU. Critical Care Nurse, 30, 46-55.

Jones, C.R. et all (2008). Networking Learning a Relational Approach Weak and Strong Ties. Journal of Computer Assisted Learning, 24, 90-102.

Joseph Cummings, PhD. et all (2007). Intensive Care Unit Telemedicine: Review and Consensus Recommendations. American Journal of Medicine Quality. 22;239

Reza Shahpori. et all ( 2011). Telemedicine in the intensive care unit environment— A survey of the attitudes and perspectives of critical care clinicians. Journal of Critical Care, 26, 328.e9–328.e15

Snooks, H.A. et all (2008). Real Nursing? The development of Telenursing. Journal of Advance

Nursing, 61, 631-640.

Susan F. Goran, RN, MSN, (2010).A Second Set of Eyes: An Introduction to Tele-ICU. Journal of Critical Care Nurse. Vol 30, No. 4, Agustus 2010

Tschirch, P. et all (2006). Nursing in Tele-Mental Health. Journal of Psychosocial Nursing, 44, 20-27.

 

Jurnal Artikel Peran Perawat Dalam Kesehatan


PERAN PERAWAT DALAM INFORMED CONSENT
 PRE OPERASI DI RUANG BEDAH
RUMAH SAKIT UMUM PEMANGKAT KALIMANTAN BARAT
Oleh : Mahmud

 
ABSTRAK

Keperawatan lahir sebagai bentuk keinginan untuk menjaga seseorang tetap sehat dan memberikan rasa nyaman dalam pelayanan dan keamanan bagi orang yang sakit. Sesuai dengan kode etik keperawatan, perawat bertindak sebagai pelindung pasien dan masyarakat ketika perawatan kesehatan dan keamanan dipengaruhi oleh praktik yang tidak kompeten, tidak berdasarkan etik atau ilegal terhadap siapa pun. Perawat berperan sebagai pelindung dan konsultan dalam pemberian informed consent untuk membantu mengatasi kekhawatiran pasien. Informed consent membantu pasien mengambil keputusan terbaik untuk diri mereka sendiri. Tujuan penelitian ini adalah menggambarkan peran perawat dalam pemberian informed consent pre operasi di ruang bedah Rumah Sakit Umum Pemangkat. Penelitian menggunakan desain kualitatif dengan pendekatan fenomenologi dilakukan terhadap 5 partisipan. Pengumpulan data dengan cara indepth interview. Peneliti menggunakan teknik purposive sampling untuk menentukan sampel dan analisa data menggunakan kategori dan tema. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sikap perawat dalam melaksanakan peran advocate, counsellor dan consultant dalam pengajuan informed consent belum sepenuhnya sesuai dengan kewenangan perawat. Perawat masih melaksanakan tugas tugas yang bukan kewenangannya, seperti memberikan informasi mengenai suatu tindakan medik (operasi), memintakan tanda tangan di lembar informed consent padahal pasien belum mengerti informasi yang disampaikan dokter terkait tindakan medik yang akan diterima pasien dan membiarkan pasien menjalani tindakan medik (operasi) meskipun dokter belum menanda tangani lembar informed consent.

Kata Kunci: Perawat, Peran, Informed Consent
Studi literatur: 28 (1999 - 2009)

 

ABSTRACT

Nursing was born as a desire to keep a person stay healthy and give comfort and security service for the sick. In accordance with a code of ethics of nursing, nurses act as a protector of patients and the public when health care and safety practices are influenced by the incompetent, not based on ethical or illegal practice done to anyone. Nurses act as protectors and consultants in the provision of informed consent to help to eliminate patient worries. Informed consent help patients take the best decision for themselves. The purpose of this study is to describe the roles of nurses in the provision of pre surgery informed consent in the operating room of Pemangkat Public Hospital. The research used a qualitative design with phenomenological approach carried out on 5 participants. The data were collected by way of in-depth interview. Researchers used purposive sampling techniques to determine the sampling and analysis of data using the categories and themes. The results showed that the attitude of nurses in carrying out the roles of advocate, counselor and consultant in proposing informed consent had not been fully in accordance with the authority of the nurse. The nurse still carried out the tasks which were not their authority, such as providing information about a medical action (operations), asking for signatures on pieces of informed consent when patients did not understand the information related to medical actions done by doctors to the patients, and allowing patients undergoing medical action ( operations) although the doctor had not signed the informed consent sheet.

Keywords: nurses, roles, informed consent
References: 28 (1999 - 2009)

 PENDAHULUAN

Secara psikologis, pasien yang dipersiapkan untuk menghadapi pembedahan akan mengalami kecemasan dan ketakutan. Perasaan cemas ini hampir selalu didapatkan pada pasien preoperasi yang sebagian besar disebabkan oleh kurangnya pengetahuan atau informasi yang didapatkan terkait dengan operasi yang akan dilakukan. Hal ini bias disebabkan oleh kurangnya daya pengingatan, salah interpretasi informasi tentang operasi atau tidak akrab dengan sumber informasi. Untuk mengatasi hal tersebut maka dapat diberikan informed consent yaitu penyampaian informasi yang mengandung unsu-unsur : diagnosis, tindakan yang akan direncanakan, prosedur alternatif, resiko yang timbul bila tidak dilakukan tindakan tersebut, kemampuan pasien untuk mengambil keputusan, kesukarelaan dari pasien yang memberi izin. (R. Sjamsuhidayat dan Wim De Jong, 1998) Penjelasan tentang informed consent menjelang operasi umumnya masih kurang dilakukan para dokter kita di Indonesia. Penyebabnya bisa dikarenakan oleh berbagai alasan yang salah satunya dikarenakan terlalu banyak pasien yang dilayani sehingga waktu untuk berkonsultasi sedikit. (S. Jacobalis, 2003) Berawal dari situasi inilah yang menjadikan posisi perawat hendaknya berada di tengah-tengah. Perannya sebagai advokat atau pembela pasien diharapkan mampu untuk bertanggung jawab dalam membantu pasien dan keluarga menginterpretasikan informasi dari berbagai pemberi pelayanan dan dalam memberikan informasi lain yang diperlukan untuk mengambil persetujuan (informed consent) atas tindakan keperawatan yang diberikan kepadanya serta mempertahankan dan melindungi hak – hak pasien. Hal ini harus dilakukan, karena pasien yang sakit dan dirawat di rumah sakit akan berinteraksi dengan banyak petugas kesehatan.

 Perawat adalah anggota tim kesehatan yang paling lama kontak dengan pasien, sehingga diharapkan perawat harus mampu membela hak –hak pasien. (Mubarak dan Nur Chayatin, 2009) Sebagai konselor (Counsellor), hendaknya perawat mampu membantu pasien untuk menyadari dan mengatasi tekanan psikologis atau masalah sosial dan membangun hubungan interpersonal yang baik untuk meningkatkan perkembangan seseorang dimana didalamnya diberikan dukungan emosional dan intelektual. Perawat juga berperan sebagai tempat konsultasi bagi pasien terhadap masalah yang dialami atau mendiskusikan tindakan keperawatan yang tepat untuk diberikan. (Mubarak dan Nur Chayatin, 2009)

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui gambaran peran perawat dalam pemberian informed consent pre operasi di ruang bedah Rumah Sakit Umum Pemangkat, sehingga memberikan manfaat informasi mengenai hak-hak dan kewajiban yang dimiliki pasien sebagai pengguna pelayanan kesehatan sehingga merasa aman, nyaman, dan terlindungi dari tindakan medik yang akan diterima, dijadikan sebagai koreksi diri dan peningkatan motivasi kerja, serta mengembangkan wawasan profesionalisme perawat di lahan praktek melalui peningkatan pengetahuan, sikap dan ketrampilan guna meningkatkan kerja sama dengan tim kesehatan terutama dokter sebagai mitra kerja, untuk masukan dalam membuat kebijakan dalam pemberian pelayanan yang terbaik bagi klien, serta informasi terhadap kinerja profesionalisme perawat, sebagai informasi penelitian yang dapat digunakan untuk rekomendasi penelitian selanjutnya, serta menambah pengetahuan, memperluas wawasan dan pengalaman peneliti mengenai peran dalam pemberian informed consent pre op di ruang rawat inap.

 METODE PENELITIAN

Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif yaitu penelitian untuk menemukan atau mengembangkan pengetahuan yang memerlukan keterlibatan peneliti dalam mengidentifikasi pengertian atau relevansi fenomena tertentu terhadap individu. (J.Maleong, 2004.) Penelitian ini menggunakan pendekatan fenomenologi yaitu untuk menjelaskan pengalaman - pengalaman yang dialami partisipan didalam kehidupan, termasuk interaksinya dengan orang lain. (Sudarwan Danim, 2003.) Populasi yang digunakan adalah perawat yang bertugas di ruang perawatan bedah Rumah Sakit Umum Pemangkat Kalimantan Barat. Jumlah sampel yang akan peneliti ambil adalah sebanyak 5 orang dengan masa kerja 15 tahun, 13 tahun, 10 tahun dan 5 tahun, dengan kecukupan data dan disesuaikan dengan kemampuan peneliti. Tehnik pengambilan sampel di lakukan dengan cara Purposif sampling yaitu peneliti memilih dari populasi secara tidak acak yang memenuhi kriteria sampel yang ditentukan.(Bhisma Murti, 2006) Tempat penelitian dilakukan di Rumah Sakit Umum Pemangkat Kalimantan Barat, tepatnya di ruang perawatan bedah. Peneliti menggunakan wawancara secara mendalam (in depth interview) dan semi terstuktur dalam mengumpulkan data. Indepth interview adalah teknik pengumpulan data yang umum digunakan untuk memperoleh pemahaman secara lengkap dan rinci mengenai masalah penelitian dengan cara mewawancari partisipan, pelaksanaanya dilakukan peneliti dibantu dengan pedoman wawancara semi struktur. (Soekidjo Notoatmodjo, 2005)

 HASIL PENELITIAN dan ANALISA DATA

Tabel 1. Karakteristik subyek


No
Nama
Umur
Pendidikan
Lama Kerja
 Kode
1
Pwt G
39 Th
D III Kep
15 Th
I.1
2
Pwt B
32 Th
D III Kep
10 Th
I.2
3
Pwt W
31 Th
D III Kep
11 Th
I.3
4
Pwt S
37 Th
D III Kep
15 Th
I.4
5
Pwt H
28 Th
D III Kep
5   Th
I.5
 

ANALISA DATA

Tabel 2: Kata Kunci dan Kategori

No
Kategori
Kata Kunci
1
a. Lembar surat persetujuan dari pasien atau
keluarga
b. Pemberian tanda tangan oleh pasien atau
keluarga sebagai pembuktian tertulis
c. Pengesahan dari keluarga untuk dilakukan
tindakan medik
d. Diberikan sebelum dokter melakukan tindakan
medik
e. Syarat paling mendasar sebelum dilakukan
tindakan medik atau operasi
 
Pengertian informed
Consent
2
Supaya pasien tahu prosedurnya
membahayakan atau tidak
b. Mendapatkan informasi tentang penyakitnya
c. Bisa mengetahui yang dipersiapkan sebelumoperasi
d. Mendapat penyampaian tentang prosedur
sebelum operasi
Manfaat penjelasan
informed consent
3
a. Dokter bedahnya yang mempertanggung
jawabkan hasil tindakannya
b. Operator dalam melakukan tindakan operasi
c. Dokter itu sendiri yang melaksanakan operasi
Penanggung jawab
Informed Consent
4
a. Mendapat informasi
b. Menerima ganti rugi bila merasa dirugikan
c. Memilih dokter dan perawat
d. Mendapatkan serta menolak pengobatan
maupun pelayanan
e. Menerima maupun menolak persetujuan
tindakan
Hak – hak pasien
dalam informed
consent
5
a. Melindungi pasien terhadap tindakan
malpraktik dokter
b. Melindungi pasien mendapatkan pengobatan
yang benar
c. Pembela dan pelindung terhadap hak-hak
pasien
Peran sebagai
Advocate
6
a. Mengatasi tekanan psikologis
b. Memberikan keyakinan kepada pasien
c. Mengurangi kecemasan pasien
d. Menggali respon pasien dan mengklarifikasi
informasi yang pasien belum mengerti
Peran sebagai
Counsellor
7
a. Menentukan pengobatan atau terapi yang diaperlukan
b. Memberikan alternatif bagi pasien dalam
memilih tindakan yang tepat
c. Memberikan penjelasan mengenai pengertian,
tanda dan gejala serta perawatan sebelum
operasi
d. Tempat berkonsultasi untuk memecahkan
suatu permasalahan
e. Membantu pasien dalam mendiskusikan
tindakan keperawatannya
f. Memberi pandangan yang benar terhadap
pilihan tindakan terbaik
Peran sebagai
Consultant


Beberapa kategori diatas dapat dibuat skema yang menghubungkan antar kategori

sehingga dapat dihasilkan sebuah tema seperti pada tabel dibawah ini :

Tabel 3: Kategori dan Tema

No
Kategori
Tema
1
a. Pengertian informed consent
b. Manfaat penjelasan informed consent
c. Penanggung jawab Informed consent
d. Hak – hak pasien dalam informed consent
Persepsi perawat tentang
informed consent
2
a. Peran perawat dalam pemberian informed
consent (Advocate, counsellor,
consultant)
Perilaku perawat dalam
pemberian informed
consent

PEMBAHASAN

A. Persepsi perawat tentang informed consent

1. Pengertian informed consent

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perawat memiliki jawaban yang beragam mengenai informed consent. Seorang partisipan berpendapat bahwa informed consent adalah lembar persetujuan yang diberikan pada saat sebelum operasi dan ditanda tangani oleh pasien atau keluarga. Partisipan berpendapat bahwa informed consent adalah lembar yang diberikan pada saat sebelum operasi dan ditanda tangani oleh pasien atau keluarga yang merupakan pengesahan dari mereka untuk dilakukan tindakan medic kepadanya. Hal ini sejalan dengan tinjauan teori yang mendefinisikan bahwa Informed Consent adalah suatu izin (consent) atau pernyataan setuju dari pasien yang diberikan dengan bebas dan rasional, sesudah mendapatkan informasi dari dokter dan yang sudah dimengertinya. (J. Guwandi, 2004 )

 2. Manfaat penjelasan informed consent

Hasil penelitian menunjukkan seorang partisipan mengatakan manfaat penjelasan informed consent adalah memberikan keyakinan kepada pasien bahwa supaya pasien tahu prosedurnya membahayakan atau tidak.Partisipan mengemukakan bahwa manfaat penjelasan informed consent adalah mendapatkan informasi tentang penyakitnya. Partisipan lainnya mengemukakan manfaat penjelasan informed consent adalah mengetahui hal - hal yang perlu dipersiapkan sebelum operasi. Partisipan menyatakan bahwa manfaat informed consent adalah supaya pasien tahu prosedur penanganan penyakitnya bisa membahayakan atau tidak, serta mendapatkan informasi tentang hal-hal yang perlu dipersiapkan sebelum operasi. Hal ini agak berbeda  tinjauan teori yang menjelaskan tujuan informed consent adalah untuk memberikan perlindungan pasien terhadap tindakan dokter yang sebenarnya tidak diperlukan dan secara medik tidak ada dasar pembenarannya yang dilakukan tanpa sepengetahuan pasiennya dan juga untuk memberi perlindungan hukum kepada dokter terhadap suatu kegagalan dan bersifat negatif, karena prosedur medik modern tidak tanpa resiko dan pada setiap tindakan medik ada melekat suatu resiko (inherent risk). (J. Guwandi, 2004)

 3. Penanggung jawab Informed Consent

Hasil penelitian menunjukkan seorang partisipan mengatakan bahwa penanggung jawab informed consent adalah dokter bedahnya yang mempertanggung jawabkan hasil tindakannya. Partisipan lain mengatakan penanggung jawab informed consent adalah operator dalam melakukan tindakan operasi.Pemberian penjelasan kepada pasien sebelum penandatanganan informed consent adalah tanggung jawab dokter dan hal ini tidak dapat didelegasikan kepada perawat. Perawat tidak berwenang dalam memberikan informasi karena memberikan informasi mengenai suatu tindakan medik (operasi) medical care (bidang pengobatan) hanya dapat dilakukan oleh dokternya sendiri. Perawat tidak diperbolehkan memberikan informasi mengenai suatu tindakan medik meskipun pasien yang memintanya. Perawat menjelaskan kepada pasien bahwa hal tersebut adalah wewenang dokter untuk menjelaskan. (J. Guwandi, 2004)

 4. Hak – hak pasien dalam informed consent

Hasil penelitian menunjukkan seorang partisipan mengatakan hak – hak pasien dalam informed consent adalah mendapat informasi, menerima ganti rugi bila merasa dirugikan, menolak pengobatan.Partisipan lain mengatakan bahwa hak – hak pasien dalam informed consent adalah menerima maupun menolak persetujuan. Konsumen pelayanan kesehatan mempunyai hak umum untuk menentukan jenis pelayanan kesehatan dan harus bersedia untuk kebutuhan saat ini dan saat yang akan datang. (http://klinikandalas.wordpress.com/2008/04/25/menentukan-kehamilan-pascaoperasi-caesar-dan-informed-concent, 2008)

 B. Perilaku perawat dalam pemberian informed consent

1. Peran sebagai Advocate

Hasil penelitian menunjukkan seorang partisipan berpendapat bahwa perannya sebagai advocate adalah melindungi pasien terhadap tindakan malpraktik dokter. Partisipan lain berpendapat bahwa peran perawat sebagai advocate adalah sebagai pembela dan pelindung terhadap hak-hak pasien. Peran advokasi dilakukan perawat dalam membantu pasien dan keluarga dalam menginterpretasi berbagai informasi dari pemberi layanan atau informasi lain khususnya pengambilan persetujuan atas tindakan keperawatan yang diberikan terhadap pasien juga dapat berperan mempertahankan dan melindungi hak-hak pasien yang meliputi hak oleh pelayanan sebaik-baiknya, hak atas informasi tentang penyakitnya, hak untuk menentukan nasibnya sendiri dan hak untuk menerima ganti rugi akibat kelalaian.(M. Dwidiyanti, 2007)

2. Peran sebagai Counsellor

Partisipan berpendapat bahwa perannya sebagai counsellor adalah mengatasi tekanan psikologis dengan mencari penyebab kecemasannya, memberikan keyakinan dalam mengurangi kecemasan pasien. Konseling adalah proses membantu pasien untuk menyadari dan mengatasi tekanan psikologis atau masalah sosial, untuk membangun hubungan interpersonal yang baik, dan untuk meningkatkan perkembangan seseorang dimana didalamnya diberikan dukungan emosional dan intelektual. (Mubarak dan Nur Chayatin, 2009) Hal ini sejalan dengan apa yang dilakukan partisipan melalui perannya sebagai counsellor sebagaimana yang terungkap diatas. Partisipan lainnya berpendapat bahwa peran perawat sebagai advocate adalah menggali respon pasien dan mengklarifikasi informasi yang pasien belum mengerti serta memberikan motivasi dalam mengambil keputusan.

3. Peran sebagai consultant

Hasil penelitian menunjukkan partisipan memperhatikan hak pasien dalam menentukan alternatif baginya dalam memilih tindakan yang tepat dan terbaik serta memposisikan sebagai tempat berkonsultasi untuk memecahkan suatu permasalahan. Perawat berperan sebagai tempat konsultasi bagi pasien terhadap masalah yang dialami atau mendiskusikan tindakan keperawatan yang tepat untuk diberikan. (Mubarak dan Nur Chayatin, 2009)

 KESIMPULAN DAN SARAN

A.Kesimpulan

Hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut persepsi perawat tentang pengertian informed consent adalah suatu surat atau lembar persetujuan yang diberikan pada saat sebelum operasi dan ditanda tangani oleh pasien atau keluarga yang merupakan pengesahan dari mereka untuk dilakukan tindakan medik kepadanya. Penanggung jawabnya adalah dokter, sebagai operator yang melakukan tindakan medic operasi. Sedangkan yang menjadi hak – hak pasien yang berkaitan dengan informed consent adalah mendapat informasi, menerima ganti rugi bila merasa dirugikan, memilih dokter dan perawat, mendapatkan pengobatan, serta menolak persetujuan tindakan.

 Pernyataan perawat tentang informed consent tersebut menggambarkan bahwa informed consent sudah dikenal dan diketahui oleh perawat. Sikap perawat dalam melaksanakan peran advocate, counsellor dan consultant dalam pengajuan informed consent belum sepenuhnya sesuai dengan kewenangan perawat. Perawat masih melaksanakan tugastugas yang bukan kewenangannya, seperti memberikan informasi mengenai suatu tindakan medik (operasi), memintakan tanda tangan di lembar informed consent padahal pasien belum mengerti informasi yang disampaikan dokter terkait tindakan medik yang akan diterima pasien dan membiarkan pasien menjalani tindakan medik (operasi) meskipun dokter belum menanda tangani lembar informed consent.

 B. Saran

Bagi perawat di Rumah Sakit diharapkan mempelajari kembali mengenai peran-perannya melalui kegiatan seminar ataupun pelatihan demi meningkatkan pengetahuan, pemahaman dan kesiapan perawat bekerja sama dengan tim kesehatan lain terutama dokter sebagai mitra kerja dalam pengajuan informed consent. Bagi Rumah Sakit Umum Pemangkat diharapkan dapat menerbitkan prosedur tetap (protap) pelaksanaan pengajuan informed consent sehingga masing-masing petugas kesehatan menjalankan tugas sesuai dengan fungsi dan perannya demi memberikan pelayanan kesehatan yang terbaik bagi pasien yang akan menjalani operasi. Bagi masyarakat diharapkan lebih kritis menggunakan hak dan kewajiban yang dimiliki dengan meningkatkan pengetahuan dan kesadarannya sebagai pengguna layanan kesehatan sehingga merasa nyaman, aman, dan terlindungi terhadap tindakan medik yang diterima.

 

DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Alih bahasa : Agung waluyo. Edisi ke – 8. Jakarta. EGC, 2001

R. Sjamsuhidayat dan Wim De Jong. 1998. Buku Ajar Bedah. Edisi revisi. Jakarta. EGC, 2001

Jane C Rothrock. Perencanaan Asuhan Keperawatan Perioperatif. Alih bahasa : Maria

A.Wijayarini. Edisi bahasa Indonesia : Monica Ester. Jakarta. EGC, 1999

Guwandi. HAM dalam Persetujuan Tindakan Medik. Jakarta. FKUI, 2005

 R. Indradi. Informed consent : hak-hak pasien dalam menyatakan persetujuan rencana tindakan medis. Juli 2007.

S. Jacobalis. Pelayanan rumah sakit: “Informed consent” persetujuan tindakan medis. Jakarta. FKUI, 2003.

Patricia A. Potter. Buku ajar Fundamental Keperawatan : konsep, proses, dan praktik, alih bahasa : Yasmin Asih volume 1, edisi 4. Jakarta : EGC. 2005.